BLUE
17 Desember, pukul 16:39.
Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Minjeong yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Minjeong terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.
Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.
Tiba-tiba Minjeong melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.
“Kak Rina!” seru Minjeong yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.
“Aku mau tebak warna kesukaan kakak.”
Menarik.
Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.
“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.
“Biruuuuu!”
Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Minjeong. Dirinya adalah manusia paling beruntung.
Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.
Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Minjeong.