Fallen Angel and His Story
Beratus-ratus tahun yang lalu, ketika manusia menyembah dewa-dewi sebelum menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dari hanya berpakaian selendang kain, mempunyai nama-nama kuno indah.
Terdapat kisah pilu menyakiti hati tetapi tak banyak orang tahu.
Seorang fallen angel menerima tugas turun ke bumi untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi setelah Para Dewa-Dewi memilih dari sekian puluh malaikat yang ada. Dia beruntung, tentu saja.
Setelah upacara pelepasan menjalankan tugas suci, malaikat tersebut diberi nama “Ethan” untuk mempermudah membaur dengan manusia juga sebagai kode. Kedua sayap putih yang tadinya tersimpan rapih di balik punggung seketika keluar dari sarangnya lalu mengepak gagah. Semua mata menaruh antesi penuh pada Ethan, mengikuti setiap gerak sayap hingga pria itu terjun menuju bumi. Banyak mulut mengucap doa mengiringi kepergiannya.
Gemuruh detak jantung berisik memenuhi sudut selama badannya menukik tajam diikuti sayapnya kian mengecil dan berakhir hilang. Telapak kakiknya mendarat di atas permukaan bumi yang terasa asing, penuh tekstur.
Ethan menjalankan tugasnya dengan baik. Membawa kebahagiaan, berkah, dan kebaikan kepada manusia seperti Dewa minta. Berkeliling dunia, singgah ke sana-sini hingga tak terasa waktu 10 tahun sudah lewat begitu saja.
Terlalu lama berbaur dengan manusia terkadang membuat Ethan lupa dirinya adalah malaikat. Seperti sekarang contohnya, dia bertemu dengan seorang pria demigod—keturuan Dewa Apollo. Iya, seorang pria. Tak bisa lepas dari pesonanya yang kuat, jantung berdegup kencang, pipinya memanas tiap kali Ethan bertemu.
Seharusnya tak seperti itu, seharunya fallen angel seperti Ethan tidak boleh memiliki perasaan.
Namanya Mikaela. Dia memiliki lesung pipi di kedua pipinya, muncul ketika tersenyum. Ethan menyukainya. Keduanya terkadang diam-diam mencuri waktu bertemu dan pergi berkencan.
Namun sepintar-pintarnya tupai melompat pasti akan jatuh juga 'kan?
Murka bisa Ethan rasakan ketika dirinya tengah bersimpuh di hadapan Dewa juga Dewi di samping Mikael. Mata-mata menatapnya pasangan adam itu dengan jijik.
Mereka sedang diadili.
Diberi hukuman bahwa mereka akan menjadi manusia sepenuhnya, dipisahkan entah untuk berapa lama hingga dosa-dosa kita terampuni—mati-bereinkarnasi. Jika mereka bertemu sebelum dosa terampuni, maka salah satu akan mati. Mikael dihilangkan ingatannya dan Ethan dibuang ke bumi sepenuhnya.
Reinkarnasi ke-4
Ethan membolak-balik undangan yang ada di tangan, dia sempat lupa kalau temannya memberi undangan itu seminggu yang lalu. Melihat tanggal yang tertulis, ternyata besok.
Untung saja tak terlewat.
Dengan perasaan lega tangannya menaruh potongan kertas itu di nakas. Badannya bergerak naik ke atas kasur bersiap untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan. Matanya menatap atap kamar kosong. Hembusan nafas keluar tak lama diikut badannya bergerak menyamankan diri dan mulai terlelap.
Esoknya, Ethan sudah rapih dibalut setelan berwarna coklat gelap duduk pada salah satu bangku yang tersedia menunggu acara dimulai (lebih tepatnya menunggu pengantin pria menghampiri pengantin wanita).
Sesekali dirinya bercakap-cakap dengan orang di sekitar, entah hanya menanya kabar atau bercerita sedikit melepas rasa bosan hingga pengantin pria sudah hadir dan siap mengikat temannya sehidup semati.
Ethan seperti dipermainkan.
Di sana, pria mempelai yang berdiri dengan tuxedo berwarna putih ternyata Mikael. Tak pernah terbayang dirinya akan melihat Mikael setelah 3 reinkarnasi sebelumnya dirinya mati tanpa bertemu dengan pria pujaan hati.
Jantungnya seperti diremas-remas, terasa sakit. Dengan hati yang luka, Ethan meninggalkan tempat sebelum keduanya saling mempertemukan bibir.
Reinkarnasi ke-9
November sudah di hadapan, tandanya London akan basah setiap hari diguyur hujan. Awan berkumpul di langit berubah jadi berwarna gelap. Udara berhembus dingin bersamaan dengan daun-daun jatuh berguguran.
Hari ini Ethan meninggalkan Putney setelah seminggu ada kepentingan. Mengarahkan kunci mobil yang digenggam sambil menekan tombol hingga bunyi bip bip nyaring lalu pintu bagasi mobil terbuka. Tangannya mengangkat koper kecil berisi pakaian dan tas punggung berisi makanan ringan yang ia beli menaruhnya hati-hati di sana.
Mengeratkan coat panjang saat angin dingin berhembus kencang, bergegas masuk ke dalam mobil. Deru mobil yang menyala melegang membelah jalan Putney High Street menuju Putney Bridge.
Sungai Thames nampak ramai riuh di bawah sana dengan kapal-kapal yang berlayar. Bahkan sungai tak ingin kalah dengan jalanan Londo yang tak pernah mati. Dalam hati Ethan berjanji akan menyempatkan diri untuk naik kapal untuk menjelajahi sungai Thames.
Putney sepenuhnya telah tertinggal jauh di sana. Mobilnya kini memasuki Fulham High Street. Mengikuti jalannya dengan tenang, berniat mampir makan siang di Fisher's yang terkenal tak jauh dari sini (untungnya satu jalur).
Papan nama sudah menyapa mata. Ethan memelankan laju mobil dan memarkirkannya. Gerimis turun begitu selesai memakirkan mobil. Kepalanya menoleh ke arah kursi penumpang, tangannya terulur mengambil payung kemudian jalan keluar.
Kepalanya sedikit menunduk untuk melihat tampilannya di kaca mobil kemudian matanya menangkap siluet Mikael di sebrang jalan. Tiba-tiba Ethan lupa cara bernafas, dirinya berlari buru-buru mengejar pujaan hati.
“MIKAEL!!”
Mikael yang mendengar seseorang memanggil namanya menoleh. Maniknya bertemu dengan manik pria yang di sebrang sana. Terasa tidak asing, hatinya tiba-tiba berdegup kencang seperti orang yang sedang jatuh cinta walaupun Mikael tak tahu siapa dia.
Pria itu menyebrang dengan ceroboh, Mikaela khawatir. Sebelum dirinya meneriakkan kata hati-hati, sebuah mobil terlebih dahulu menghantam membuat seluruh manusia yang berada di jalan saat itu berteriak.
Tidak, tidak, tidak.
Mata Mikael berair, dirinya bingung kenapa ia menangis. Kaki panjangnya berlari menghampiri badan pria itu yang tergeletak lemah di jalanan. Tangannya memeluk badan yang berlumuran darah, masih terasa nafasnya yang lemah. Dengan gemetar Mikael mencoba menahan darah yang terus keluar dari kepala.
“M—mi..kael.”
“Ya? Ya?”
Air mata berjatuhan saat menatap ke bawah namun dirinya malah mendapatkan senyum tulus dari orang yang berada di dekapannya, seperti mengatakan 'tak apa-apa' sebelum nafas itu hilang.
Reinkarnasi ke-12
Seperti hari-hari biasanya, Ethan menggunakan kereta bawah tanah untuk berpergian karena menjangkau banyak tempat, selain itu harganya lebih murah dari kendaraan umum lainnya.
Perasaan tak enak menghampiri ketika kakinya memasuki gerbong kereta, seperti menyuruhnya untuk tidak pergi menggunakan kereta untuk hari ini saja. Ragu, kakinya hendak bergerak namun diurungkan. Seperti itu terus sampai tiga kali lebih.
Berakhir dirinya urung untuk masuk. Berbalik badan untuk meninggalkan stasiun—sempat menabrak seseorang sebelum dirinya cepat-cepat meminta maaf. Suara 'tak apa' pelan jawaban dari orang itu sebelum hilang dari pandangan memasuki kereta. Ethan sempat berpikir seperti tak asing suaranya, namun mungkin hanya kebetulan.
Sinar silau mentari memasuki retina, menyirami badan Ethan saat dirinya telah keluar dari stasiun. Berjalan santai di sekitar menuju perpustakaan kota yang berada beberapa blok dari lokasinya berada.
Kepala Ethan bergerak ke kanan-kiri melihat keadaan sekitar ketika ia merasakan guncangan hebat. Takut hanya halusinasi dirinya, ternyata tak hanya dirinya yang merasakan, orang-orang yang berada di gedung, ruko-ruko di pinggir jalan langsung berlarian keluar. Langkah kakinya mengikuti orang-orang menuju tempat lapang jauh dari bangunan atau pohon besar, menyelamatkan diri.
Bunyi bangunan roboh dan sirene bersahut-sahutan. Menakutkan. Tangan Ethan menutupi telinga sekuat tenaga, berharap bisa menangkal atau setidaknya mengurangi bunyinya. Berharap semua ini cepat berakhir.
Guncangan sudah tak terasa setelah 1 menit. Lebih lama dari biasanya yang hanya beberapa detik saja. Mengembuskan nafas lega, walaupun masih ada sisa-sisa bunyi bangunan roboh. Kini lebih dominan bunyi ambulans yang membawa korban.
Seminggu kemudian.
Keadaan sudah lebih membaik. Dua hari terakhir Ethan sering membaca surat kabar yang dibelinya di pertigaan dekat toko roti. Kali ini halaman depan terpampang korban meninggal dari kereta bawah tanah. Ada sekitar 70an yang baru teridentifikasi identitas mereka. Jarinya menyusuri tiap nama, berakhir pada abjad M.
Hatinya was-was, membacanya teliti hingga sebuah nama terucap dari belah bibirnya, “Mikael...,” otaknya kembali membawa Ethan untuk memaksanya mengingat seminggu yang lalu ketika tak sengaja menabrak seseorang di stasiun kereta. Ia kira hanya kebetulan saja, tak mungkin orang yang sama.
Reinkarnasi ke-16
Malam terasa sunyi namun nyaman. Semilir angin bergiliran untuk berhembus menerpa badan Ethan yang sedang terduduk di salah bangku taman. Kepala menunduk, di tangan ada benda pipih berbentuk persegi panjang serta kabel yang menjuntai mengarah kedua telinganya.
Jari-jari ramping panjangnya terus bergerak naik turun juga mengetik di atasnya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kala berhasil menemukan sesuatu yang ia cari. Matanya terpejam dengan punggung yang bersandar pada bangku diikuti suara alunan lagu yang terdengar samar-samar.
I gotta keep the calm before the storm I don't want less, I don't want more Must bar the windows and the doors To keep me safe, to keep me warm
Tetes bening lolos dari sisi mata kiri mengalir jatuh bebas ke atas pipi. Disusul sisi kanan tak mau kalah juga. Isakan pun ikut menyertai air mata yang mengalir.
Yeah, my life is what I'm fighting for Can't part the sea, can't reach the shore And my voice becomes the driving force I won't let this pull me overboard
Ethan sedang merindu. Rasa yang terus membuncah tak ada ujungnya membuat dirinya diambang putus asa, ingin menyerah.
Harus berapa lama lagi ia harus menunggu?
Tadinya hanya isakan kini jadi jeritan ungkapan lara yang tak pernah tersampaikan. Banyaklah hal yang sudah Ethan lalui namun kini rasa-rasanya ia ingin berhenti.
Haruskan ia berhenti berharap Mikael-nya akan kembali?
God, keep my head above water Don't let me drown, it gets harder
Semua terasa semakin sulit. Ia seperti tenggelam sendirian di tengah lautan perlahan. Tangan dan kakinya mati rasa tak bisa bergerak menolak perintah yang diteriakkan otak.
I'll meet you there at the altar As I fall down to my knees Don't let me drown, drown, drown
Sepasang kaki dibalut sepatu kulit hitam mengilap tepat berdiri di hadapan Ethan. Postur badannya tegap memblokir cahaya yang selaras dengan posisinya sehingga menimbulkan bayangan jatuh ke arah pria yang sedang terduduk. Mengusik ketenangan, Ethan sedikit mengomel dan melepaskan salah satu benda yang menyumbat telinganya.
“Ethan..”
Seperti guyuran hujan di musim panas, suara itu berhasil membuat jantung Ethan berdetak tak karuan. Matanya terbuka, lalu menengadah melihat orang yang memanggil namanya. Memastikan bukan bagian dari imajinasi yang dibuat oleh otaknya.
Dengan gugup, Ethan berdiri dan berjalan menghampiri kemudian memeluknya erat seperti tiada hari esok.
“Mikael, Mikael..., Mikael.”
Kedua tangan Mikael menyambut, menangkap Ethan pas dalam dekapan. Membalas pelukannya dengan hangat tiada tara. Kecupan-kecupan ia daratkan di puncak kepala sang kasih.
“Maaf.”
“Maaf aku baru ingat sekarang,”
“Maaf selama ini kamu menderita sendiri,”
“Maaf, maaf, maaf sayang..”
Mikael merenggangkan pelukan, mengakup wajah Ethan penuh sayang takut terluka. Bisa ia lihat mata sembab, hidung memerah, serta pipi yang basah akibat menangis. Ibu jarinya mengelus pipi, mencoba menyalurkan rasa sayang miliknya kepada Ethan. Memberitahukan bahwa dirinya kini di sini bersamanya tak ada lagi yang memisahkan keduanya.
“Sayangnya Mikael,” ucap Mikael.
“Sayangnya Ethan.” balas Ethan.
Ethan menggenggam tangan Mikael yang berada di wajahnya, senyum muncul pada wajah keduanya. Tak lama bibir saling bertubrukan, mencium satu sama lain mengakhiri penantian panjang yang menyakitkan.