niskalabadi

Always been you.


cw : bxb, mlm, fantasy, human x hybrid, explicit sex, mention penis

Dont forget give me a feedback, happy reading!


Semburat jingga menghiasi langit sore dari ujung kanan hingga kiri perlahan memudar dibarengi tenggelamnya sang mentari di ujung barat.

Heeseung dengan gelisah memacu kendaraan roda empat di bawah cakrawala yang menghitam tanda petang telah tiba.

Dalam hati meruntukin dirinya yang mengiyakan ajakan senior di kantor untuk berbincang mengenai rapat untuk minggu depan padahal dia sudah janji akan pulang tepat waktu kepada Sunghoon.

“Sunghoon marah ga, ya?”

Jemarinya mengetuk stir mobil tak sabaran. Macet. Jalanan penuh sesak mobil yang mengular panjang. Sesekali matanya mencuri pandang jikalau Sunghoon menghubungi.

Suara klakson bersahutan saat lampu merah berubah hijau selama 30 detik saja, tak sabaran. Heeseung menggerakkan persneling lalu menekan gas agar mobil bergerak maju membelah jalanan kota.

Bangunan menjulang tinggi dengan sebuah nama apartemen terpampang 100 meter tak jauh dari jarak pandang, mobilnya masuk ke arah basement tempat parkir.

Kakinya bergerak cepat, setiap langkahnya berdoa agar kekasihnya tak marah kepadanya saat sampai di unit milik mereka berdua. Matanya dengan jelas melihat langit sepenuhnya telah berubah menjadi gelap.

Gugup, jantungnya memompa darahnya lebih cepat dari biasanya menciptakan adrenalin dalam tubuhnya. Tangannya dengan mantap membuka pintu ketika sandi yang ia masukan telah benar.

Gelap gulita.

Heeseung sedikit panik. Matanya menyelusuri, mencari Sunghoon tak lupa diikuti bibirnya yang memanggil nama sang kekasih.

“Sunghoon?”

Lampu menyala, sinarnya memenuhi ruangan. Heeseung menutup korden jendela yang masih setengah terbuka. Langkah kakinya berakhir pada pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup.

“Sunghoon?” panggilnya sekali lagi untuk memastikan.

Suara kecil, lemah terbata memasuki gendang telinga Heeseung, “Hee– kak hee?”

Dengan cepat tangan Heeseung mendorong pintu dan menekan tombol sakelar lampu. Di atas kasur, Sunghoon terbaring setengah telanjang dengan dikelilingi baju milik Heeseung.

“Sayang?”

“Kak, sakit...”

Telinga Sunghoon bergerak gelisah, hidungnya mengendus bau Heeseung yang tertinggal pada potongan baju—berharap bisa membantunya sedikit mengurangi sakit saat heat.

Perlahan Heeseung menghampiri, duduk di pinggirannya. Memeluk cintanya dengan sayang, sesekali memberi kecupan di puncak kepala.

“Maaf. Maaf ya, sayang? Maaf kakak pulang telat ga ngabarin dulu. Mau kakak bantu?”

Sunghoon menggeleng kemudian mengangguk di dalam pelukan. Heeseung dengan telaten mendudukkan Sunghoonnya di kedua paha, lebih tepatnya memangku. Tangan kiri mengelus pipi, memberi stimulasi kepada Sunghoon sedangkan tangan yang lain membelai kemaluan.

“Anhh—”

Kepala Sunghoon dengan rakus bergerak, menggesekkan pipinya pada telapak tangan Sunghoon. Kedua tangannya merangkul leher, diikuti kakinya melingkar dengan apik di pinggang Heeseung.

Tangan Heeseung bergerak dengan konstan naik turun memberi kenikmatan. Bibirnya mencumbu bibir lelaki setengah anjing di hadapannya. Melumat, menggigit, menjilati, mengisap hingga bengkak berkilau karena liur keduanya tercampur.

Setelah puas dengan bibir Sunghoon, mengecupnya sekali sebelum berpindah pada leher putih jenjang milik sang kekasih. Kecupan ringan sebagai pembukaan kemudian basah liur bisa Sunghoon rasakan saat lidah Heeseung menjilati lehernya. Tak lama setelahnya yang ia tahu lehernya sudah penuh dengan warna merah-keunguan.

Pinggangnya bergerak dengan sendirinya, menggesek kulit dengan fabrik celana milik Heeseung. Mencari nikmat. Sebentar lagi ia akan mencapai putihnya. Heeseung seperti paham apa yang diinginkan Sunghoon, jari-jari panjangnya dengan cepat menyiapkan lubang senggama walaupun iya tahu sebenernya tak perlu karena Sunghoon mengeluarkan slick dengan sendirinya ketika bercinta.

Menidurkan badan Sunghoon di atas kasur dengan senyaman mungkin, lalu Heeseung menanggalkan celana bahannya. Memberikan sentuhan sedikit pada kejantanan miliknya hingga sepenuhnya tegang siap memasuki lubang Sunghoon.

Dirinya merangkak di atas Sunghoon yang terbaring, melebarkan kakinya—menuntun agar Sunghoon melingkarkan kakinya pada pinggang. Kepalanya menunduk, mencium kening Sunghoon cukup lama sebelum mencium kembali bibir Sunghoon.

Tangannya di bawah sana mengarahkan penis miliknya agar masuk ke dalam lubang. Melakukan penyatuan di antara keduanya, pinggangnya mendorong penisnya masuk lebih dalam. Membuat Sunghoon membusungkan dada akibat tusukan mendadak yang Heeseung berikan.

“Ahh— nnh anhh.”

Dari atas sini Heeseung bisa melihat kekasihnya yang mendesah keenakan dengan mata setengah tertutup.

“Cantik.”

Kekehan keluar dari belah bibir milik Heeseung saat melihat pipi kekasihnya mengeluarkan semburat merah. Sunghoon dengan cepat menutupinya dengan lengan.

“Diem.”

“Aku sayang kamu juga.”

Setiap sentuhan yang Heeseung berikan, membuat Sunghoon kepayahan. Dirinya sudah diambang batas, surga dunia yang Heeseung berikan membuatnya lupa akal sehat.

Ketika kejantanan Heeseung dengan telak menusuk masuk dalam mengenai titik, dirinya mengeluarkan putihnya. Menyebur mengotori perut dan dada.

“Mnhh– sayang hh.”

Heeseung mengerang ketika penisnya diremas kuat saat pelepasan sang kekasih. Tangannya terjulur untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik milik Sunghoon.

Breathe.”

Dada Sunghoon mulai bergerak dengan teratur kembali setelah mengumpulkan potongan kewarasan miliknya. Matanya perlahan terbuka, maniknya langsung bersirobok dengan Heeseung.

“Ayo lanjutin lagi, kak.”

Heeseung mengangguk, melanjutkan kegiatan intim di antar keduanya. Kali ini dengan tempo yang lebih cepat dan berantakan. Pinggangnya bergerak maju mundur tanpa jeda hingga penis Sunghoon kembali tegak menegang menggesek perut Heeseung yang masih terbalut kemeja.

Desahan semaki vokal keluar dar bibir Sunghoon saat lidah Heeseung bermain di kedua puting miliknya. Badannya bergetar karena diberi stimulus terlalu banyak, bahkan Sunghoon sulit merasakan kedua kakinya saking dibuat lemas oleh Heeseung.

Bisa ia rasakan penis milik Heeseung yang mulai membesar, mengisi penuh setiap sudut rektumnya. Kemudian cairan hangat menyembur keluar memenuhi bagian selatan disusul dirinya juga mencapai puncak untuk kedua kalinya.

Heeseung menjatuhkan badannya di samping Sunghoon, memeluknya erat. Tangan kanannya sebagai bantalan, tangan kirinya mengelus punggung.

“Makasih sayang, nanti kakak bersihin semuanya. Kamu tidur aja dulu.”

No. Aku yang makasih udah dibantu sama kakak.”

“Berarti kita sama-sama terima kasih kalo gitu.”

Sunghoon mengangguk setuju sebelum kedua matanya terpejam karena kelelahan akibat aktivitas tadi. Senyum Heeseung tak luntur dari bibirnya saat menuduk memperhatikan sang kekasih. Satu kecupan dia daratkan di atas kening Sunghoon.

Beratus-ratus tahun yang lalu, ketika manusia menyembah dewa-dewi sebelum menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dari hanya berpakaian selendang kain, mempunyai nama-nama kuno indah.

Terdapat kisah pilu menyakiti hati tetapi tak banyak orang tahu.

Seorang fallen angel menerima tugas turun ke bumi untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi setelah Para Dewa-Dewi memilih dari sekian puluh malaikat yang ada. Dia beruntung, tentu saja.

Setelah upacara pelepasan menjalankan tugas suci, malaikat tersebut diberi nama “Ethan” untuk mempermudah membaur dengan manusia juga sebagai kode. Kedua sayap putih yang tadinya tersimpan rapih di balik punggung seketika keluar dari sarangnya lalu mengepak gagah. Semua mata menaruh antesi penuh pada Ethan, mengikuti setiap gerak sayap hingga pria itu terjun menuju bumi. Banyak mulut mengucap doa mengiringi kepergiannya.

Gemuruh detak jantung berisik memenuhi sudut selama badannya menukik tajam diikuti sayapnya kian mengecil dan berakhir hilang. Telapak kakiknya mendarat di atas permukaan bumi yang terasa asing, penuh tekstur.

Ethan menjalankan tugasnya dengan baik. Membawa kebahagiaan, berkah, dan kebaikan kepada manusia seperti Dewa minta. Berkeliling dunia, singgah ke sana-sini hingga tak terasa waktu 10 tahun sudah lewat begitu saja.

Terlalu lama berbaur dengan manusia terkadang membuat Ethan lupa dirinya adalah malaikat. Seperti sekarang contohnya, dia bertemu dengan seorang pria demigod—keturuan Dewa Apollo. Iya, seorang pria. Tak bisa lepas dari pesonanya yang kuat, jantung berdegup kencang, pipinya memanas tiap kali Ethan bertemu.

Seharusnya tak seperti itu, seharunya fallen angel seperti Ethan tidak boleh memiliki perasaan.

Namanya Mikaela. Dia memiliki lesung pipi di kedua pipinya, muncul ketika tersenyum. Ethan menyukainya. Keduanya terkadang diam-diam mencuri waktu bertemu dan pergi berkencan.

Namun sepintar-pintarnya tupai melompat pasti akan jatuh juga 'kan?

Murka bisa Ethan rasakan ketika dirinya tengah bersimpuh di hadapan Dewa juga Dewi di samping Mikael. Mata-mata menatapnya pasangan adam itu dengan jijik.

Mereka sedang diadili.

Diberi hukuman bahwa mereka akan menjadi manusia sepenuhnya, dipisahkan entah untuk berapa lama hingga dosa-dosa kita terampuni—mati-bereinkarnasi. Jika mereka bertemu sebelum dosa terampuni, maka salah satu akan mati. Mikael dihilangkan ingatannya dan Ethan dibuang ke bumi sepenuhnya.


Reinkarnasi ke-4

Ethan membolak-balik undangan yang ada di tangan, dia sempat lupa kalau temannya memberi undangan itu seminggu yang lalu. Melihat tanggal yang tertulis, ternyata besok.

Untung saja tak terlewat.

Dengan perasaan lega tangannya menaruh potongan kertas itu di nakas. Badannya bergerak naik ke atas kasur bersiap untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan. Matanya menatap atap kamar kosong. Hembusan nafas keluar tak lama diikut badannya bergerak menyamankan diri dan mulai terlelap.

Esoknya, Ethan sudah rapih dibalut setelan berwarna coklat gelap duduk pada salah satu bangku yang tersedia menunggu acara dimulai (lebih tepatnya menunggu pengantin pria menghampiri pengantin wanita).

Sesekali dirinya bercakap-cakap dengan orang di sekitar, entah hanya menanya kabar atau bercerita sedikit melepas rasa bosan hingga pengantin pria sudah hadir dan siap mengikat temannya sehidup semati.

Ethan seperti dipermainkan.

Di sana, pria mempelai yang berdiri dengan tuxedo berwarna putih ternyata Mikael. Tak pernah terbayang dirinya akan melihat Mikael setelah 3 reinkarnasi sebelumnya dirinya mati tanpa bertemu dengan pria pujaan hati.

Jantungnya seperti diremas-remas, terasa sakit. Dengan hati yang luka, Ethan meninggalkan tempat sebelum keduanya saling mempertemukan bibir.


Reinkarnasi ke-9

November sudah di hadapan, tandanya London akan basah setiap hari diguyur hujan. Awan berkumpul di langit berubah jadi berwarna gelap. Udara berhembus dingin bersamaan dengan daun-daun jatuh berguguran.

Hari ini Ethan meninggalkan Putney setelah seminggu ada kepentingan. Mengarahkan kunci mobil yang digenggam sambil menekan tombol hingga bunyi bip bip nyaring lalu pintu bagasi mobil terbuka. Tangannya mengangkat koper kecil berisi pakaian dan tas punggung berisi makanan ringan yang ia beli menaruhnya hati-hati di sana.

Mengeratkan coat panjang saat angin dingin berhembus kencang, bergegas masuk ke dalam mobil. Deru mobil yang menyala melegang membelah jalan Putney High Street menuju Putney Bridge.

Sungai Thames nampak ramai riuh di bawah sana dengan kapal-kapal yang berlayar. Bahkan sungai tak ingin kalah dengan jalanan Londo yang tak pernah mati. Dalam hati Ethan berjanji akan menyempatkan diri untuk naik kapal untuk menjelajahi sungai Thames.

Putney sepenuhnya telah tertinggal jauh di sana. Mobilnya kini memasuki Fulham High Street. Mengikuti jalannya dengan tenang, berniat mampir makan siang di Fisher's yang terkenal tak jauh dari sini (untungnya satu jalur).

Papan nama sudah menyapa mata. Ethan memelankan laju mobil dan memarkirkannya. Gerimis turun begitu selesai memakirkan mobil. Kepalanya menoleh ke arah kursi penumpang, tangannya terulur mengambil payung kemudian jalan keluar.

Kepalanya sedikit menunduk untuk melihat tampilannya di kaca mobil kemudian matanya menangkap siluet Mikael di sebrang jalan. Tiba-tiba Ethan lupa cara bernafas, dirinya berlari buru-buru mengejar pujaan hati.

“MIKAEL!!”

Mikael yang mendengar seseorang memanggil namanya menoleh. Maniknya bertemu dengan manik pria yang di sebrang sana. Terasa tidak asing, hatinya tiba-tiba berdegup kencang seperti orang yang sedang jatuh cinta walaupun Mikael tak tahu siapa dia.

Pria itu menyebrang dengan ceroboh, Mikaela khawatir. Sebelum dirinya meneriakkan kata hati-hati, sebuah mobil terlebih dahulu menghantam membuat seluruh manusia yang berada di jalan saat itu berteriak.

Tidak, tidak, tidak.

Mata Mikael berair, dirinya bingung kenapa ia menangis. Kaki panjangnya berlari menghampiri badan pria itu yang tergeletak lemah di jalanan. Tangannya memeluk badan yang berlumuran darah, masih terasa nafasnya yang lemah. Dengan gemetar Mikael mencoba menahan darah yang terus keluar dari kepala.

“M—mi..kael.”

“Ya? Ya?”

Air mata berjatuhan saat menatap ke bawah namun dirinya malah mendapatkan senyum tulus dari orang yang berada di dekapannya, seperti mengatakan 'tak apa-apa' sebelum nafas itu hilang.


Reinkarnasi ke-12

Seperti hari-hari biasanya, Ethan menggunakan kereta bawah tanah untuk berpergian karena menjangkau banyak tempat, selain itu harganya lebih murah dari kendaraan umum lainnya.

Perasaan tak enak menghampiri ketika kakinya memasuki gerbong kereta, seperti menyuruhnya untuk tidak pergi menggunakan kereta untuk hari ini saja. Ragu, kakinya hendak bergerak namun diurungkan. Seperti itu terus sampai tiga kali lebih.

Berakhir dirinya urung untuk masuk. Berbalik badan untuk meninggalkan stasiun—sempat menabrak seseorang sebelum dirinya cepat-cepat meminta maaf. Suara 'tak apa' pelan jawaban dari orang itu sebelum hilang dari pandangan memasuki kereta. Ethan sempat berpikir seperti tak asing suaranya, namun mungkin hanya kebetulan.

Sinar silau mentari memasuki retina, menyirami badan Ethan saat dirinya telah keluar dari stasiun. Berjalan santai di sekitar menuju perpustakaan kota yang berada beberapa blok dari lokasinya berada.

Kepala Ethan bergerak ke kanan-kiri melihat keadaan sekitar ketika ia merasakan guncangan hebat. Takut hanya halusinasi dirinya, ternyata tak hanya dirinya yang merasakan, orang-orang yang berada di gedung, ruko-ruko di pinggir jalan langsung berlarian keluar. Langkah kakinya mengikuti orang-orang menuju tempat lapang jauh dari bangunan atau pohon besar, menyelamatkan diri.

Bunyi bangunan roboh dan sirene bersahut-sahutan. Menakutkan. Tangan Ethan menutupi telinga sekuat tenaga, berharap bisa menangkal atau setidaknya mengurangi bunyinya. Berharap semua ini cepat berakhir.

Guncangan sudah tak terasa setelah 1 menit. Lebih lama dari biasanya yang hanya beberapa detik saja. Mengembuskan nafas lega, walaupun masih ada sisa-sisa bunyi bangunan roboh. Kini lebih dominan bunyi ambulans yang membawa korban.

Seminggu kemudian.

Keadaan sudah lebih membaik. Dua hari terakhir Ethan sering membaca surat kabar yang dibelinya di pertigaan dekat toko roti. Kali ini halaman depan terpampang korban meninggal dari kereta bawah tanah. Ada sekitar 70an yang baru teridentifikasi identitas mereka. Jarinya menyusuri tiap nama, berakhir pada abjad M.

Hatinya was-was, membacanya teliti hingga sebuah nama terucap dari belah bibirnya, “Mikael...,” otaknya kembali membawa Ethan untuk memaksanya mengingat seminggu yang lalu ketika tak sengaja menabrak seseorang di stasiun kereta. Ia kira hanya kebetulan saja, tak mungkin orang yang sama.


Reinkarnasi ke-16

Malam terasa sunyi namun nyaman. Semilir angin bergiliran untuk berhembus menerpa badan Ethan yang sedang terduduk di salah bangku taman. Kepala menunduk, di tangan ada benda pipih berbentuk persegi panjang serta kabel yang menjuntai mengarah kedua telinganya.

Jari-jari ramping panjangnya terus bergerak naik turun juga mengetik di atasnya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kala berhasil menemukan sesuatu yang ia cari. Matanya terpejam dengan punggung yang bersandar pada bangku diikuti suara alunan lagu yang terdengar samar-samar.

I gotta keep the calm before the storm I don't want less, I don't want more Must bar the windows and the doors To keep me safe, to keep me warm

Tetes bening lolos dari sisi mata kiri mengalir jatuh bebas ke atas pipi. Disusul sisi kanan tak mau kalah juga. Isakan pun ikut menyertai air mata yang mengalir.

Yeah, my life is what I'm fighting for Can't part the sea, can't reach the shore And my voice becomes the driving force I won't let this pull me overboard

Ethan sedang merindu. Rasa yang terus membuncah tak ada ujungnya membuat dirinya diambang putus asa, ingin menyerah.

Harus berapa lama lagi ia harus menunggu?

Tadinya hanya isakan kini jadi jeritan ungkapan lara yang tak pernah tersampaikan. Banyaklah hal yang sudah Ethan lalui namun kini rasa-rasanya ia ingin berhenti.

Haruskan ia berhenti berharap Mikael-nya akan kembali?

God, keep my head above water Don't let me drown, it gets harder

Semua terasa semakin sulit. Ia seperti tenggelam sendirian di tengah lautan perlahan. Tangan dan kakinya mati rasa tak bisa bergerak menolak perintah yang diteriakkan otak.

I'll meet you there at the altar As I fall down to my knees Don't let me drown, drown, drown

Sepasang kaki dibalut sepatu kulit hitam mengilap tepat berdiri di hadapan Ethan. Postur badannya tegap memblokir cahaya yang selaras dengan posisinya sehingga menimbulkan bayangan jatuh ke arah pria yang sedang terduduk. Mengusik ketenangan, Ethan sedikit mengomel dan melepaskan salah satu benda yang menyumbat telinganya.

“Ethan..”

Seperti guyuran hujan di musim panas, suara itu berhasil membuat jantung Ethan berdetak tak karuan. Matanya terbuka, lalu menengadah melihat orang yang memanggil namanya. Memastikan bukan bagian dari imajinasi yang dibuat oleh otaknya.

Dengan gugup, Ethan berdiri dan berjalan menghampiri kemudian memeluknya erat seperti tiada hari esok.

“Mikael, Mikael..., Mikael.”

Kedua tangan Mikael menyambut, menangkap Ethan pas dalam dekapan. Membalas pelukannya dengan hangat tiada tara. Kecupan-kecupan ia daratkan di puncak kepala sang kasih.

“Maaf.”

“Maaf aku baru ingat sekarang,”

“Maaf selama ini kamu menderita sendiri,”

“Maaf, maaf, maaf sayang..”

Mikael merenggangkan pelukan, mengakup wajah Ethan penuh sayang takut terluka. Bisa ia lihat mata sembab, hidung memerah, serta pipi yang basah akibat menangis. Ibu jarinya mengelus pipi, mencoba menyalurkan rasa sayang miliknya kepada Ethan. Memberitahukan bahwa dirinya kini di sini bersamanya tak ada lagi yang memisahkan keduanya.

“Sayangnya Mikael,” ucap Mikael.

“Sayangnya Ethan.” balas Ethan.

Ethan menggenggam tangan Mikael yang berada di wajahnya, senyum muncul pada wajah keduanya. Tak lama bibir saling bertubrukan, mencium satu sama lain mengakhiri penantian panjang yang menyakitkan.

take a note : Sunoo dan Jungwon seumuran di sini.


Karpet bulu di lantai yang luas menyapa bongkahan pantat milikku. Duduk di atasnya yang lembut juga hangat, tangannya mengelus bulunya karena penasaran. Mataku menjelajahi ruangan—kamar Sunoo, didominasi warna hitam, tak semua tapi aku tahu kalau dia sangat menyukai warna hitam.

Pemilik kamar kembali membawa nampan berisi dua gelas minuman yang aku tebak itu orange juice dan beberapa camilan. Bibirku membulat, membuat bentuk huruf o kecil, soalnya camilannya banyak sekali.

“Banyak banget?” tanyaku.

“Biar ga bolak-balik, mager gue.”

Aku mengangguk mendengar jawabannya. Tanganku mengambil gelas di atas nampan, menyesap sedikit minuman dari sana sebelum fokus pada tujuan awal aku di sini—mengerjakan tugas.

Beberapa lembar kertas berserakan, buku-buku terbuka pada halaman tertentu. Aku fokus pada layar laptop mengetik, menyusun kata di sana.

“Udah!” seruku riang, “terus lanjutannya ada di kertas ini,” sambil memberikan lembaran kertas kepada Sunoo.

“Tandain yang penting sampai poin ke 4, nanti—”

Ada sesuatu yang basah menggores punggung tangan, mataku bergerak cepat untuk memeriksa. Coretan berwarna hijau neon dari stabilo, tak terlalu panjang terdapat di sana. Pipiku memanas dan berubah menjadi kemerahan karena salah tingkah.

“Gemes.”

Satu kata, lima huruf serta kekehan mengikuti membuat diriku ingin menghilang dari muka bumi dan bersembunyi saat ini juga. Astaga, Kim Sunoo sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku.

“Yang Jungwon... Mau jadi pacar gue?”

content warning : kissing


Bel istirahat kedua berbunyi nyaring, membuat gendang telingaku seperti disiksa. Aku berjalan keluar dari kelas, tujuanku sekarang adalah rooftop. Materi terakhir— matematika, bukannya menjadi paham malah sakit kepala yang menghampiri.

Membuka pintu dengan mendorong malas menggunakan kaki. Mataku menangkap siluet seseorang di pojok sana. Aku bisa memberitahu mu, dia adalah Heeseung dari warna rambutnya, the pink guy.

Siapa yang tidak tahu dia? Laki-laki 'the most wanted' di sekolah. He's indeed damn hot.

Berjalan ke arahnya seperti tak mengenal mati, lalu berdiri tepat di hadapannya. Tentu saja pria itu langsung memberi atensi penuh tanya saat menangkap presensi diriku ini.

Oh ternyata dia sendang merokok, aku bisa melihat batang berisi tembakau juga nikotin candu yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya yang panjang. Ujungnya merah membara terbakar mengeluarkan asap.

Hey pink guy.” aku mencoba membuka percakapan.

“Apa?” balasnya singkat.

“Daripada ngerokok, mending lo cium gue.”

Bodoh. Nyawamu ada berapa, Jake? Sampai berani berkata seperti itu?

Sounds good, i want it tho since a long time.”

Salah satu alisku bergerak naik, terheran-heran mendengar jawaban dari pria berambut pink ini. Mataku menelusuri pergerakan jari tangan miliknya yang membuang puntung rokok kemudian menginjaknya begitu saja.

Dari situ yang ku ingat hanyalah Heeseung mengikis jarak di antara kita dan benda kenyal bernama bibir —bibir milik Heeseung lebih tepatnya, menempel dengan apik di atas bibirku. Ada rasa pahit dari sisa-sisa nikotin yang kemudian bercampur dengan liur kita berdua.


17 Desember, pukul 16:39.

Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Karina yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Karina terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.

Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.

Tiba-tiba Karina melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.

“Seung-ah!” seru Karina yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.

“Aku mau tebak warna kesukaan kamu.”

Menarik.

Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.

“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.

“Biruuuuu!”

Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Karina. Dirinya adalah manusia paling beruntung.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.

Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Karina.


17 Desember, pukul 16:39.

Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Minjeong yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Minjeong terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.

Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.

Tiba-tiba Minjeong melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.

“Kak Rina!” seru Minjeong yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.

“Aku mau tebak warna kesukaan kakak.”

Menarik.

Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.

“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.

“Biruuuuu!”

Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Minjeong. Dirinya adalah manusia paling beruntung.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.

Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Minjeong.


17 Desember, pukul 16:39.

Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Minjeong yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Minjeong terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.

Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.

Tiba-tiba Minjeong melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.

“Kak Rina!” seru Minjeong yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.

“Aku mau tebak warna kesukaan kakak.”

Menarik.

Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.

“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.

“Biruuuuu!”

Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Minjeong. Dirinya adalah manusia paling beruntung.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.

Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Minjeong.


17 Desember, pukul 16:39.

Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Minjeong yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Minjeong terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.

Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.

Tiba-tiba Minjeong melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.

“Kak Rina!” seru Minjeong yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.

“Aku mau tebak warna kesukaan kakak.”

Menarik.

Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.

“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.

“Biruuuuu!”

Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Minjeong. Dirinya adalah manusia paling beruntung.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.

Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Minjeong.


17 Desember, pukul 16:39.

Aku tak akan pernah lupa, tak akan mencoba untuk melupakan. Jari tangan Sunoo yang terselip di sela-sela jariku, mengisi ruang di sana dengan pas. Jalan beriringan, Sunoo terlihat sangat bubbly. Bisa ku rasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat, aku pun menggenggam tangan dia tak kalah erat.

Seperti hari-hari biasanya sebelumnya— kita berdua selalu punya 'acara' jalan-jalan di taman pada sore hari, bedanya ini hari pertama kita berdua melakukan 'acara' jalan-jalan setelah menjadi sepasang kekasih. Jika mengingat hal itu, rasanya senyum di bibirku tak ingin hilang.

Tiba-tiba Sunoo melepaskan genggaman tangannya, aku menatapnya penuh tanya. Dia, dengan senyumnya yang manis bagaikan permen kapas yang terdapat di pasar malam membuatku bungkam dan hanya memperhatikan dirinya dari tempatku berdiri.

“Kak Jaaaaay!” seru Sunoo yang hanya berjarak 10 langkah dari ku.

“Aku mau tebak warna kesukaan kakak.”

Menarik.

Kita berdua tak pernah mengobrol tentang warna kesukaan. Hanya menyebutkan warna-warna random kalau aku suka melihatnya karena nyaman di mata dan tak ada warna yang jadi kesukaan, sedangkan dia hanya berkata warna itu seperti dinding kreatifitas seseorang— terlalu mengekang. Padahal warna ada banyak, seharusnya semua warna bisa jadi kesukaan semua orang, bukan malah ada warna yang dibenci.

“Coba tebak!” aku membalas perkataannya dengan tangan berada di mulut membuat corong agar suaraku tak pecah.

“Biruuuuu!”

Rasanya seperti banyak kembang api di perut saat melihat kekasihnya berteriak warna biru. Dia berteriak dengan riang, jangan lupakan senyumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Tak pernah dalam hidupnya pernah melihat manusia seindah Sunoo. Dirinya adalah manusia paling beruntung.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis bahagia karena ini.

Aku bilang padanya bahwa dia benar. Belum pernah melihat biru yang sama sejak itu, dalam segala hal. Dan aku bisa hidup di dalamnya sekarang bersama Sunoo.